Diksi dan Pengendalian Pikiran

Ditulis oleh Rino Risanti Amalia

Para pemerhati bahasa, linguist, jurnalis dan hipnoterapis pengguna neuro linguistic programming (NLP) mesti mengetahui bahwa bahasa, khususnya diksi, memiliki kekuatan untuk beraksi, bahkan mengendalikan. Kata-kata yang dipelajari manusia setiap harinya sejak mulai berkomunikasi, tersimpan dalam memori dan bisa memicu reaksi tertentu berdasarkan kondisi mental yang tersimpan bersama memori tersebut.



Contoh yang sangat nyata untuk bangsa Indonesia adalah diksi PKI atau komunis. Oleh karena “cuci otak” masif di masa ORBA, kata PKI/komunis menjadi tabu dan menjadi label mematikan untuk orang yang mendapatkannya. Ketakutan akan menjadi korban ketidakadilan masif dan/atau amuk massa membuat perbincangan tentang ORBA tak pernah mengemuka di masanya karena takut diberi label tersebut.

Di masa reformasi, kata komunis yang mulai kehilangan efek menakutkannya digunakan oleh orang-orang minim pengetahuan yang mendadak jadi panutan. Biasanya pemuka agama kagetan seringkali menggunakan istilah “komunis liberal kapitalis” demi gagah-gagahan menyanggah orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan agar tampak intelek dan meyakinkan di depan jamaahnya.

Diksi agitatif juga digunakan oleh jurnalis koran kuning yang cenderung membuat judul bombastis dengan isi berita copas tanpa data. Tentu saja maksudnya untuk menaikkan rating atau oplah. Mereka tidak memikirkan efek psikologis yang terjadi di masyarakat. Masyarakat yang cenderung mudah tercengkeram ketakutan sehingga menolak menggunakan akal sehatnya.

Oleh karena itu, sebagai manusia yang berakal, seyogyanya kita bisa menyerap diksi dan makna serta latar belakang penggunaannya oleh setiap penutur atau pembuat berita. Kita harus kritis mendalami setiap pernyataan sebelum menerimanya sebagai kebenaran. Jangan sampai diksi menakutkan seperti “mencekam”, “gawat”, “parah”, “neraka”, “adzab”, “bergelimpangan”, membuat kita abai pada data dan menyerah untuk dikendalikan media dan/atau orang-orang yang berkepentingan atas kebebasan kita menentukan pilihan hidup.

Tinggalkan komentar